Monday 16 May 2011

Generasi Anjin* Goblo*





“Anjin* Goblo*”  kalimat itu keluar dari seorang siswa sekolah dasar, “heeuh bener ceuk aing oge ...“ ujar teman nya, kalimat yang seolah terdengar akrab di telinga mereka, kondisi ini ditemui hampir di setiap lingkungan, bahkan di dalam angkot sekali pun. Pertanyaannya sekarang .. “siapakah yang mengajari mereka ..?” menjawab nya lumayan mudah, yaitu guru, orang tua dan juga lingkungan di sekitar nya, bahkan kebijakan dari pemerintah, lho kok bisa ...?

Menilik kondisi di atas, kebiasaan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut bukanlah kebiasaan yang tidak sengaja di turunkan, mengapa demikian ..? karena orang tua dari anak yang bersangkutan pun berkata-kata persis seperti yang di ucapkan oleh sang anak, bisa jadi dia pun mendaptkan nya dari orang tua nya, mata rantai yang terus menerus menyambung menjadi satu ... he.  Bermental kasar,curang dan bertendensi merendahkan orang lain, seakan-akan menjadi kebanggan tersendiri.

Guru atau lebih luas nya lagi institusi sekolah di anggap sebagai filter yang bisa mereduksi kondisi demikian, karena memang seharusnya demikian, akan tetapi konsep guru sebagai figur yang mesti digugu dan ditiru semakin hilang dari benak siswa, banyak sekali guru yang menjalan kan “Sistem Doktrin” dan “Gugur Kewajiban”, maksud nya apa ..? Guru hanya memberikan pelajaran sesuai dengan apa yang dia pelajari saja, pokok nya begini dan harus begini..? mengapa.. karena sistem nya memang begini, alasan klise yang selalu menjadi andalan para guru,  entah karena memang sistemnya harus begitu, atau apakah karena pengetahuan guru yang kurang ..? Karena sangat mudah sekali menjadi guru saat ini, sarjana pendidikan di obral ... setiap tahun dengan jumlah sangat fantastis.

Lalu apa hubungan nya dengan “Gugur Kewajiban” ..? tugas guru adalah mengajar .. dan selesai mengajar.. maka selesai lah kewajibannya, bagaimana kondisi siswa, lingkungan atau pun permasalahan yang tengah terjadi di sekitarnya tidak lah di perdulikan lagi, yang penting setiap rapat harus ikut, dan lolos “sertifikasi”, sebuah program yang dibuat oleh pemerintah, yang mengindikasi kan pemerintah tidak mempercayai lulusan dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Persyaratan lulus sertifikasi merupakan tolak ukur, atau dalam istilah awam nya sebagai penentu layak atau tidak nya seseorang menjadi seorang guru yang profesional, disadari atau tidak sertifikasi menyebabkan orang-orang bertanya-tanya ... apakah lembaga penjaminan mutu yang dibentuk oleh perguruan tinggi penghasil tenaga kependidikan tidak berfungsi ...? karena secara tidak langsung sertifikasi bisa berarti bahwa pemerintah tidak mempercayai lulusan LPTK tersebut di anggap layak untuk menjadi guru profesional.
Jawaban nya sebenarnya cukup jelas kondisi nya adalah antara nalar dan uang yang masuk ke dalam saku (proyek),  begitu mudah  seseorang menjadi tenaga pengajar menyebabkan banyak sekali bertebaran tenaga pengajar, baik itu yang berkualitas atau pun tidak, mungkin ada baiknya dibuatkan sebuah filter khusus untuk menyaring calon guru, sehingga memenuhi kulaifikasi yang dibutuhkan, sehingga pada akhirnya sertifikasi tidak dibutuhkan lagi, kecuali bagi tenaga pengajar non sarjana kependidikan.

Kembali kepada permasalahan diatas, kewajiban mengajarkan ahlak dan moral di sekolah merupakan tugas utama sekolah, sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan.  Guru seharunya mampu memberikan keteladan pribadi, menjadi panutan, memiliki sosiabilitas yang baik,  dan berperan serta dalam memecahkan permasalahan siswa, pertanyaan sekarang apakah hal ini juga berlaku untuk guru honorer ..? jawaban nya gampang-gampang susah, semuanya berkutat antara masalah idealisme dan permasalahan perut, lagi-lagi sebuah kondisi yang diciptakan pemerintah, jikalau pemerintah memerlukan tenaga pengajar, sudah seharus nya pemerintah mengangkat tenaga pengajar, bukan menciptakan Under Payment Community alias tenaga honorer tersebut, dampak yang bisa ditimbulkan adalah ketidak seriusan mengajar, atau pun pecah nya konsentrasi antara mendidik anak dan urusan perut, permasalahan diatas mestilah di atasi supaya bisa memutus mata rantai generasi Anjin*  Goblo*.

(Riki Nuryadin)

2 comments:

  1. Doeloe, menjadi guru adalah pengabdian. Sekarang adalah bagian dari pekerjaan, setipis kulit bawang bedanya. Tapi dampak-nya Anjin' dari dulu sampai sekarang tidak bisa dihapuskan. Bahkan perbudakan-pun semakin marak dgn di-legalkannya sistim kerja kontrak alias out-soursing, nulisna ge teuing kumaha. Saha nu salah? Keuyeup kali, mata kahareup, leumpang ka gigir. Terima kasih.

    ReplyDelete
  2. Wahh Paakk Jaman Semakin ancur ini mahh..
    Anak Kecil Sudah Kenal Sama Rokok..
    Udah gede Udah Kenal Saamaa Namanya Narkoba.
    haduh..> Jamanne Jaman Edan...

    ReplyDelete

Repositori Institusional Di Perguruan Tinggi

Oleh : Riki Nuryadin riki.nuryadin@upi.edu riki.nuryadin@gmail.com Abstrak: Institusional repositori adalah sebuah wadah o...