Ins:fokusjabar.com
Gejala membludaknya pengguna
motor di jalanan terutama pada saat jam masuk dan pulang kantor, tampaknya
menjadi sesuatu hal yang lazim di hampir seluruh kota besar di pulau jawa,
termasuk juga kota Bandung, Bandung
sebuah kota yang banyak menarik minat orang untuk mengunjungi nya.
Bandung menjadi salah satu kota tujuan terutama dalam hal pariwisata,
pendidikan dan kesehatan, banyak sekali fasilitas-fasiltas yang menunjang
sektor-sektor tersebut untuk dapat berkembang di kota Bandung.
Selain itu juga bandung memiliki
banyak gedung perkantoran dan industri-industri, yang masih bertempat di pusat
kota, hal ini mengakibatkan lalu lintas kota Bandung menjadi sangat ramai,
terutama di jam-jam sibuk, hal ini bisa dimaklumi, mengingat banyak pekerja yang
memiliki hunian di pinggiran kota Bandung, seperti Cimahi, Padalarang, Lembang,
Bale Endah, atau pun di daerah Bandung Timur (Ranca ekek, Cileunyi, dan sebagainya),
dengan tingkat kepadatan lalu lintas yang sudah melebihi ambang batas,
semestinya ada suatu sistem pengaturan sebuah sistem di kota Bandung yang dapat
memfasilitasi kebutuhan akan transportasi publik.
Tidak seperti kota lainnya dimana
lalu lintas menjadi lenggang pada hari-hari libur, di kota Bandung justru
bertambah padat mengingat banyak nya tempat wisata yang berlokasi di kota
Bandung, pengunjung terutama datang dari Ibu kota Jakarta, mengingat mudahnya
akses menuju Bandung semenjak di buka nya jalan tol Cipularang, hal ini menyebabkan
macet akhirnya menjadi bagian dari gaya hidup penduduk kota Bandung, dan kota
Bandung akan identik dengan kemacetan.
Membludaknya pengguna kendaraan
di kota Bandung tidaklah di iringi dengan ketersediaan transportasi publik yang
memadai, untuk angkutan publik nampaknya kota Bandung masih mengandalkan angkutan
kota yang dimiliki oleh perorangan, meskipun ada pula bis kota atau angkot
gede, mengingat sistem penaikan dan penurunan penumpangnya tidak mengenal
sistem halte, bisa berhenti, menurunkan dan menaikan penumpang dimana saja,
sama hal nya dengan angkot
Terdapat beberapa kelemahan
mengandalkan sistem transportasi publik menggunakan angkot, meskipun budaya
naik angkot ini dicoba untuk di hidupkan kembali oleh walikota bandug Ridwan
Kamil yang biasa dipanggil dengan Kang Emil. Kelemahan tersebut antara lain :
1. Waktu
ngetem (berhenti) yang lama dan tidak jelas, karena tidak ada waktu standar
berapa lama mobil akan ngetem, pun ngetem ini bisa dilakukan berulang-ulang
dalam satu kali perjalanan
2. Tidak
nyaman, dengan posisi duduk yang berhadap-hadapan, dan hanya mendapatkan porsi
duduk yang secukupnya (kecil), ditambah lagi dengan penuhnya penumpang, maka
rasa-rasanya kata “nyaman” jauh dari layanan angkot
3. Sistem
tarif yang tidak menentu dan relatif mahal, banyak tarif hanya didasarkan pada
perasaan saja, kira-kira berapa jauh nya, atau pun tergantung “mood” dari sang
pengemudi.
4. Banyaknya
pengamen dan peminta-minta yang nyelonong masuk ke angkot, dan terkadang
sedikit memaksa untuk meminta uang pada penumpang
5. Kurang
memperhitungkan keselamatan penumpang, terkadang para supir angkot menjalankan
kendaraannya dengan ugal-ugalan dan berebutan penumpang
6. Tidak
ada pengecekan model transportasi ini di jalanan, termasuk diantara nya adalah:
apakah mobil layak pakai, supirnya memiliki SIM, surat-suratnya lengkap, dan
lain sebagainya, dengan kata lain sistem kontrol nya hampir tidak ada,
terkadang ditemukan ada anak kecil yang mengendarai angkot.
Selain angkot, terdapat juga bis
kota, bis kota ini sedikit agak nyaman dan ada sistem kontrol nya, akan tetapi
penggunaannya masih jauh dari yang diharapkan, terkadang penumpang
berdesak-desak an dalam bis, berhenti untuk menaikan dan menurukan penumpang di
mana saja (tidak hanya di halte), apakah hal ini disebabkan oleh budaya kita
yang malas jalan? Entahlan tampak nya perlu ada penelitian mengenai hal ini,
halte-halte dibangun dan sebagian dari halte tersebut didesain untuk memberikan
kenyamanan pada calon penumpang, tapi ada satu hal yang kurang yaitu
ketersediaan toilet di halte, mengapa diperlukan toliet? Karena perjalanan
menggunakan transportasi publik, biasa nya menguras banyak waktu di jalanan dan
kebutuhan akan toilet umum terkadang sulit dipenuhi.
Apa yang terjadi selanjutnya
kebanyakan dari halte tersebut menjadi kosong, karena tidak ada jadwal yang
jelas kapan bis akan lewat, kalau sudah begini sudah barang tentu orang-orang
akan memilih untuk menghentikan bis di dekat rumah nya saja. Begitu juga dengan
halte-halte yang dibangun untuk Trans Metro Bandung (TMB) banyak dari hate yang
pada akhirnya tidak digunakan dan menjadi tempat berlindung gelandangan, atau
pun pengendara motor yang menghindari hujan.
Model transportasi publik lainnya
adalah kereta api, kereta api ini cukup dapat diandalkan karena sudah ada
jadwal tersendiri, dan terbebas dari macet, sehingga bisa memperkirakan waktu
tempuh perjalanan, namun sayangnya rute dari kereta api ini memiliki
keterbatasan, hal yang seharusnya sudah diantisipasi dalam hal pengembangan
kota, padahal pada jaman Belanda saja, jenis transportasi ini sudah melalui
pelosok-pelosok, antara lain sampai ke soreang, banjaran, ciwidey, dan Tanjung
sari. Jalur Bandung-Soreang merupakan jalur yang sangat padat, seandainya jalur
kereta api Bandung-Ciwidey kembali dihidupkan, mungkin akan sedikit mengurangi
kemacetan di wilayah tersebut.
Sistem Transportasi Publik Terpadu
Menggunakan motor dijalanan yang
macet sebenarnya kurang nyaman, apalagi jika terjadi hujan yang lebat atau pun
panas yang sangat, akan tetapi tampaknya masyarakat tidak memiliki pilihan lain
selain menggunakan moda transportasi ini. Salah satu faktor paling pokok, yang
menjadi alasan pemilihan sepeda motor sebagai alat transpotasi adalah faktor
efisisensi dan penghematan, jika dikalkulasi kan seorang pengguna sepeda motor
yang menempuh jarang sekitar 20 Km untuk menuju tempat nya bekerja hanya
memerlukan bensin sekitar ½ liter yang kalau di rupiah kan sekitar Rp. 3525,-
atau sekitar Rp. 7050,- bolak balik sampai kerumah dengan hari kerja efektif
selama 20 hari, maka biaya transportasi yang dibutuhkan dalam satu bulan adalah
sekitar Rp. 141000,- . Bandingkan dengan menggunakan tranportasi publik, kita
buat simulasi biaya yang mesti dikeluarkannya (ini hanya permisalan saja).
1. Menggunakan
ojek menuju jalan Rp. 5000,-
2. Menggunakan
angkot 2 kali dengan rata-rata ongkon Rp.7000 x 2 = Rp. 14.000
Maka biaya yang dibutuhkan untuk
sekali jalan adalah sekitar Rp. 19.000,- untuk kembalinya lagi memerlukan biaya
yang sama, sehingga dalam satu hari dibutuhkan biaya sekitar Rp. 38.000,- ,
dengan waktu efektif kerja 20 hari dalam satu bulan, maka biaya yang dibuthkan
adalah sekitar Rp. 760000,- perbedaaan yang sangat signifikan lebih dari 5 kali
lipatnya.
Ketidak ada an sistem
transportasi terpadu akan berimbas pada mahalnya biaya trasnportasi, dan hal
ini pula yang menyebabkan banyak pengguna jalan pada akhirnya memilih sepeda
motor sebagai sarana transportasi “publik” nya, sebuah sarana transportasi
publik yang disediakan karena keterpaksaaan.
Sepeda motor yang pada akhirnya
berjumlah sangat banyak, akan menyebabkan kesemerawutan lalu lintas, dan
pengguna sepeda motor sendiri tercatat sebagai alat trasnpostasi yang paling
sering mengalami kecelakaan, penggunaan sepeda motor pun terkadang tidak di
iringi dengan kebijakan-kebijakan lain yang dapat menambah faktor keselamatan,
masih banyak ditemui anak-anak SMP dan SMA yang menggunakan sepeda motor ke
sekolahnya, entah apakah mereka telah memiliki SIM atau belum.
Rencana Pembangunan Monorel dan Menghidupkan kembali Jalur Kereta Api
Pembangunan monorel di
gadang-gadang bisa memecahkan kebuntuan transportasi publik di kota
Bandung, salah satu hal yang mesti di
apresiasi. Adanya itikad untuk memecahkan masalah kesemerawutan dan kemacetan
di kota Bandung memberikan angin segar pada warga kota Bandung yang mulai jenuh
menghadapi kemacetan. Hanya saja yang menjadi permasalahannya monorel ini tidak
meliputi sebagian besar wilayah kota Bandung, yang harus diperhatikan adalah
pergerakan lalu lintas kota Bandung, dan tempat-tempat yang menjadi tujuan dari
warga Bandung atau pun pendatang dari luar kota, hingga pada akhirnya masalah
kemacetan ini bisa teratasi, mungkin ada baiknya sebelum monorel ini dibangun,
diaadakan dulu survey tentang jalur transportasi yang paling sering digunakan
di kota Bandung.
Begitu pun dengan wacana
menghidupka kembali jalur kereta api di daerah yang pada lalu lintas, selain
terkenal anti macet, jalur kereta api terutama di wilayah Bandung selatan yang
terkenal dengan keindahan alamnya dapat dimanfaatkan pula sebagai penunjang
sarana pariwisata, yang pada akhirnya dapat membantu perekonomian masyarakat
setempat.
Riki Nuryadin
saya setju dgn anda
ReplyDeletevisit my site
visit my site
visit my site
visit my site